Hidup Itu Untuk Berkarya Bukan Untuk Putus Asa

Senin, 26 Juli 2010

Bubur Aneka Rupa

        
      Selain gabus pucung, masakan khas Betawi lainnya yang juga sulit dijumpai adalah bubur ase. Namanya sedikit aneh. Ase merupakan singkatan dari asinan dan semur. Bubur ini disebut demikian karena memang disajikan dengan asinan dan semur. Ya, bubur, asinan, dan semur! Sebuah kombinasi yang aneh. Aneh dan mungkin terkesan udik. Kita bisa mendapatkan masakan ini di Warung Mpok Neh di daerah Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat. “Sejak saya kecil, masakan ini sudah ada,” kata Mpok Neh yang telah berjualan bubur ase sejak 1968.

Jika warung gabus pucung terdesak ke pinggir selatan Jakarta, warung bubur ase ini terjepit di belakang gedung-gedung megah di kawasan Thamrin. Warung ini menempati bagian depan rumah tinggal keluarga Mpok Neh di sebuah gang sempit di perkampungan Betawi yang padat di Kebon Kacang, yang juga merupakan sentra nasi uduk.
Seolah menyamakan diri dengan kepadatan rumah di Kebon Kacang, isi bubur ase ini pun padat berjejal. Bagian utama masakan ini adalah bubur beras. Buburnya kental, jauh dari kesan encer. Bumbunya hanya garam, jadi tidak gurih. 
Bubur ini disajikan bersama asinan yang isinya sawi asin, lobak, ketimun, dan taoge. Bubur plus asinan ini kemudian diberi semur yang isinya potongan kecil-kecil tahu, kentang, dan sedikit daging. Bumbu semur antara lain lada, bawang merah, bawang putih, kecap, dan gula jawa. Karena buburnya tidak encer, bagian bubur ini disajikan tidak dalam keadaan hangat. Bagian yang hangat adalah kuah semurnya.

Bubur, asinan, dan semur ini kemudian disajikan bersama kacang goreng, emping, dan kerupuk yang warnanya merah menyala. Sambal dihidangkan terpisah.

Tampilannya bisa dibayangkan, isinya campur aduk di dalam satu piring. Semarak seperti ornamen ondel-ondel. Betawi sekali. Aneka rupa bahan dapur masuk ke sini tanpa mengindahkan kaidah estetika tata boga. Seolah-olah resep masakan ini berangkat dari asumsi (yang sering tidak berlaku dalam urusan masak-memasak) bahwa enak plus enak hasilnya lebih enak. 
       Dari komponen-komponen penyusunnya, rasa bubur ini bisa dibayangkan. Campur aduk. “Rasanya ya Nano-nano,” kata Mpok Neh, yang nama aslinya Asnah ini. Ada manis, tawar, asin, asam, gurih, dan pedas.
Aneka rasa ini memang keunikan dan daya tarik dari bubur ase. Karena itu, masakan ini lebih enak dinikmati dalam keadaan tidak diaduk. Semua bahan dibiarkan di tempat sesuai dengan posisinya saat dihidangkan. Dengan begitu, di tiap sendokan, kita akan menjumpai rasa yang berbeda-beda, silih berganti, tergantung bagian yang masuk ke sendok. Jika ketemu lobak, ya tawar. Kalau dapat sawi, ya asin. Pas menyendok semur, rasanya segar, manis, dan gurih.

Saat menikmati bubur ini, indra perasa di lidah terpaksa harus jumpalitan mengikuti pergantian rasa. Pendek kata, semua bagian saraf rasa di lidah kebagian kerja. Sekalipun kombinasinya unik dan aneh, hasil akhirnya tetap enak dan tidak enek. Ini bagian dari keanehan kuliner Betawi yang harus dilindungi. (M. Sholekhudin)

0 komentar:

Post Coment